Apa Kabar, Wahai Cinta?
Selasa, 14 Maret 2017.
Senja
menjingga dilangit barat. Ku tengok ke kanan dan kiri, banyak muda-mudi duduk
berdua menikmati hangat udara sore. Saling pandang, berpegang tangan, bercanda
tawa, bahkan ada yang terlihat sangat menikmati perbincangan yang serius. Entah
apa yang sedang mereka bayangkan dan bicarakan. Diluar itu, ku terduduk sendiri
menatap satu bentukan awan yang tebal. Berwarna jingga terkena sinar perpisahan
mentari. Hangat rasanya. Tetapi dingin, karena aku disini tanpa sosokmu.
Aku
bertanya dalam diam. Dimanakah engkau? Apa yang sedang kau lakukan disana? Namun
keterdiaman itu tidak banyak membantu. Hening. Sepi. Lama-lama membisu. Bahkan angin
sudah berhasil mengalahkan keheninganku. Semilirnya memeluk dingin. Membuat hati
terasa makin ter-iris. Aku tidak terisak diluar. Namun aku terisak di dalam
duniaku. Di dalam dada dan kepalaku.
Mengingatmu. Kau satu-satunya yang selalu ku rindu. Bayang wajah yang selalu terlintas
di benakku. Salah satu sayap yang menerbangkan ku menggapai angan. Selalu ada
setiap hari bak sinar mentari pagi. Kau. Dirimu yang menyebalkan. Dirimu yang
keras kepala. Dirimu yang kurindukan. Dirimu yang bisa menjadi apa pun yang kau
dan aku mau. Dirimu yang membuat ku jatuh mencinta.
Cinta.
Kemana perginya kata itu? Kata yang belakangan ini terasa asing. Kata yang
mengikat kita dan membuat jarak diantara kita. Satu kata sederhana dengan
banyak makna. Kata yang terangkai dari huruf-huruf yang berbeda, yang akhirnya
bersatu. Bukankah harusnya setiap orang yang mencinta seperti itu? Bersatu. Tumbuh
bersama. Berdua, dan melahirkan cinta lainnya? Bukankah cinta membawa pada
kedamaian dan kebersamaan? Iya, dulu memang seperti itu. Rengkuhan tanganmu
memeluk ku saat ku terjatuh. Melindungiku agar tak tergores luka. Tapi sekarang,
dimanakah cinta itu? Kemana pergi nya? Apakah cinta sudah berlari terlalu jauh?
Ataukah kita yang berlari mendahului cinta? Meninggalkannya dan berlalu pergi.
Aku
masih ingat, saat-saat pertama ku mengenalmu. Perkenalan yang dulu pernah ku
sesali, namun ternyata aku sadar bahwa Tuhan yang mengirim anugerah itu. Kau dan
cintamu. Datang menyapa. Menuliskan kenangan di buku harian hitam-putih ku. Memberikan
setitik warna yang kemudian menjadi pelangi. Pelangi yang tak akan pernah
hilang meski hujan tlah berlalu.
"Dan
sekarang, satu hal yang selau ingin ku tanyakan. Apa kabarmu, Wahai Cinta?"
Silahkan Berkomentar Positif Ya ^^